Senin, 15 Juli 2013

TIGA MURID

Sang Guru bijak, pagi itu menerima kembali tiga murid terbaiknya, yang telah pergi merantau selama tiga tahun. Mereka turun gunung dari kampung ke kampung dan dari kota ke kota, untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan dari Sang Guru: Apakah makna kekayaan bagi manusia? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan menentukan, siapakah yang akan menjadi pengganti sang Guru kelak. Maka kini tibalah saatnya bagi mereka untuk menjawab pertanyaan Sang Guru.
Murid Pertama berkata: Ya Guru, setelah tiga tahun merantau, murid sampai pada kesimpulan, bahwa kekayaan adalah akar kejahatan. Dalam perjalanan, murid banyak menjumpai anak manusia yang rela melakukan berbagai kejahatan, melakukan tipu muslihat, kecurangan, perampokan bahkan pembunuhan untuk memperoleh kekayaan. Bahkan setelah meraih kekayaan, mereka kemudian menggunakan kekayaan tadi untuk melakukan perbuatan-perbuatan keji. Mereka gunakan kekayaan untuk berjudi, berzina, mabuk-mabukan dan hal – hal yang kurang bermanfaat. Tidak ada kebaikan sedikitpun dari kekayaan. Demikianlah pengamatan murid, oh Guru.
Sang Guru: Oh menarik sekali pengamatanmu murid. Lalu menurutmu apa yang sebaiknya kita lakukan?
Murid Pertama: Manusia harus menjauhkan diri dari kekayaan yang merupakan  sumber kejahatan ini Guru. Supaya selalu dekat dan ingat kepada Yang Maha Esa, kita harus hidup jauh dari kekayaan. Kita dekatkan diri kita kepada Yang Maha Esa dengan meninggalkan ikatan keduniawian seperti halnya kekayaan ini Guru. Kita harus memurnikan hati kita dengan meninggalkan hal-hal yang dapat membuat hati kita terpaut kepada selain Tuhan Yang Maha Esa. Demikian menurut pendapat murid, oh Guru.
Sang Guru tersenyum: Engkau sungguh memiliki kemuliaan wahai murid pertama. Aku bangga kepadamu.
Murid Kedua: Mohon maaf Guru, murid punya pendapat yang berbeda. Selama perjalanan, murid banyak berjumpa dengan raja dan saudagar kaya yang sangat dermawan. Mereka membangun tempat ibadah, mereka membangun tempat tinggal untuk orang miskin, mereka menyantuni anak yatim, mereka memberi makanan dan pertolongan untuk orang yang kesusahan. Mereka mencari kekayaan yang sangat banyak, namun juga menggunakannya untuk kebaikan banyak orang. Murid sampai pada satu kesimpulan, bahwa kekayaan adalah sumber kebaikan, yang akan membawa umat manusia kepada kebaikan. Demikian pendapat murid, oh Guru.
Sang Guru: Oh, sungguh luar biasa pengamatanmu muridku. Lalu menurutmu apa yang sebaiknya kita lakukan?
Murid Kedua: Manusia harus mencari kekayaan sebanyak-banyaknya Guru. Dengan memiliki kekayaan yang cukup, maka manusia dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Dengan kekayaan yang cukup maka manusia dapat memperolah pendidikan yang baik, dapat beribadah dengan tenang, dapat bersedekah, dapat menolong keluarga dan sesama manusia yang membutuhkan. Manusia tidak boleh hidup dalam kemiskinan Guru. Kita harus melakukan seganap upaya agar manusia terbebas dari kemiskinan dan memperoleh kekayaan. Demikian pendapat murid.
Sang Guru tersenyum: Engkau adalah samudera kebijaksanaan wahai murid kedua. Aku bangga kepadamu.
Sang Guru berpaling ke Murid Ketiga: Murid ketiga, bagaimana menurutmu?
Murid Ketiga: Guru, selama perjalanan, murid telah berjumpa dengan orang kaya yang baik, namun ada juga orang kaya yang jahat. Murid bertemu dengan orang miskin yang baik, dan ada orang miskin yang jahat. Murid menjumpai ada orang kaya yang taat beribadah dan selalu ingat pada Tuhan nya, namun ada juga orang kaya yang lupa pada Tuhan. Seperti halnya ada orang miskin yang selalu ingat pada Tuhan, dan ada juga orang miskin yang lupa pada Tuhan. Banyak orang kaya yang …
Sang Guru tersenyum: Jadi apa maksudmu muridku yang baik?
Murid Ketiga: Maksud murid, ternyata kekayaan adalah sekedar alat. Semuanya akan kembali kepada diri kita sebagai manusia. Manusia yang memiliki tujuan hidup yang baik, akan menggunakan kekayaan sebagai alat untuk mewujudkan kebaikan. Demikian maksud murid,oh Guru.
Sang Guru: Lalu menurutmu apa yang sebaiknya kita lakukan?
Murid Ketiga: Manusia haruslah mengetahui hendak kemana ia akan menuju. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya di dunia ini hanyalah alat, bukan tujuan. Termasuk kekayaan.
Sang Guru: Lalu hendak kemanakah manusia menuju?
Murid Ketiga: Manusia adalah semata ciptaan Yang Maha Esa. Kesanalah semua manusia menuju. Jika manusia menyadari tujuannya, kekayaan dapat menjadi kendaraan untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Esa. Namun jika sebaliknya, maka kekayaan dapat juga menjauhkan manusia dari Yang Maha Esa.
Sang Guru tersenyum: Muridku, sungguh engkau adalah sumber kebijaksanaan dan samudera pengetahuan.
Sang Guru menundukkan kepala menghormat murid ketiga: Engkaulah Guru baru di perguruan ini.
Dan kedua murid yang lain, serentak menunduk hormat pada Murid Ketiga.

Jumat, 12 Juli 2013



“SOLIDARITAS”

Suatu hari ketika aku hendak pergi ke Jepara menggunakan Bus, aku melihat seorang anak perempuan kecil, berwajah ceria, lucu dan mungil memegang mike dan sebuah tape karaoke kecil diletakkan di lantai Terminal Bus mengalunkan musik pengiring lagunya. Dengan lincahnya Ia bernyanyi sambil bergaya, gerakan tangan dan badannya seirama dengan lagu yang ia nyanyikan. Suara gadis mungil itu masih bening karena ia masih berusia sekitar tujuh atau delapan tahun. Dengan penuh penjiwaan ia melantunkan lagu :
ambilkan bulan, bu
ambilkan bulan, bu
yang slalu bersinar di langit
di langit bulan benderang
cah’yanya sampai ke bintang
ambilkan bulan, bu
untuk menerangi
tidurku yang lelap di malam gelap
Semua orang yang berada di terminal bus, ikut menyaksikan gadis kecil itu dan merasakan sebuah jiwa yang sedang bernyanyi, Suaranya begitu mempengaruhi orang-orang yang ada di terminal pada saat itu, sampai-sampai dua anak kecil di sebelahku pun ikut menirukan lagu gadis kecil itu. Hatiku pun bergetar dan tak terasa aku pun ikut bernyanyi...

Setelah bernyanyi, dengan tetap diiringi musik lagu yang sama, ia mengeluarkan kantong permen Relaxa, dan mulai mengedarkan dari satu orang ke orang yang lain yang ada di terminal bus itu. Ada satu hal yang membuatku terpana. Di sebelah gadis kecil itu, ada seorang pengemis cacat. Ia duduk mengesot di lantai sambil menggaruk-garuk luka yang ada di kepalanya. Ia seorang anak laki-laki dan tidak dapat berjalan dengan kedua kakinya, ia mengesot untuk meminta uang dari orang – orang yang ada disekelilingnya.
Aku sangat heran setelah ikut mendengarkan lagu gadis itu, pengemis cacat itupun mengeluarkan uang logam dari saku bajunya dan memasukkannya ke dalam kantong permen yang diedarkan oleh gadis kecil tadi. Sebuah apresiasi yang luar biasa atas lagu merdu gadis kecil itu dari seorang anak yang cacat.

Melihat kejadian itu hatiku menjadi gelisah, ada pertanyaan besar di dalam diriku…

"Mengapa anak laki-laki yang masih membutuhkan uluran tangan orang lain itu mau merelakan   uang yang ia terima, dan memasukkannya ke dalam kantong permen gadis itu?"

“Mengapa ia yang masih serba kekurangan itu masih mau solider dengan sesamanya yang mungkin kurang menderita bila dibandingkan dirinya sendiri?”

Ada logika yang diputarbalikkan oleh tindakan anak laki-laki kecil cacat tadi. Dari kekuranganya ia memberikan sesuatu bagi orang lain dengan ikhlas, meski uang yang ia berikan itu merupakan hasil jerih payah dirinya, yang harus mengesot meminta belas kasihan orang lain.

“Dari cerita ini semoga saja kita bisa memetik pelajaran yang begitu berharga”
Thanks…..

Jumat, 30 Desember 2011

MENGEJAR SUKSES

H
al apa yang paling diinginkan semua umat manusia? Jawabannya : sukses. Sukses  telah menjadi impian bahkan kebutuhan mutlak setiap manusia. Berbagai jenis pendidikan diambil, beragam jenis pekerjaan ditekuni demi mencapai kesuksesan. Sayangnya, meski semua manusia ingin sukses, tidak semuanya memahami apa itu  kesuksesan. Bahkan,yang sering saya dengar tentang definisi tentang apa itu kesuksesan, tidak sedikit yang  masih menganggap kesuksesan identik dengan punya harta banyak. Bisa jadi  mereka mungkin lupa atau tidak sadar mengenai begitu banyak orang kaya (secara materi) yang hidup dalam stres, depresi hingga mati dengan cara bunuh diri. Ironis!  Ada juga yang menganggap sukses identik dengan meraih sebuah prestasi atau cita- cita.  Seiring perjalanan hidup, saya  semakin menyadari kalau sukses sangatlah berbeda  dengan pengakuan sukses. Dalam buku  REACH YOUR MAXIMUM POTENTIAL,  karya Paulus Winarto dikatakan bahwa sukses adalah sebuah perjalanan (success is a journey). Sukses bukanlah sebuah tujuan akhir (success is not a destination).
Perjalanan sukses itu akan sangat berarti jika kita senantiasa melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Dengan kata lain, sukses adalah perjalanan untuk  menemukan sekaligus mengembangkan talenta yang sudah Tuhan percayakan pada kita dan menjadikannya berkat bagi hidup sesama. 
Maxwell pernah mengatakan kalau sukses terdiri dari tiga hal penting, yakni mengetahui tujuan hidup Anda (knowing your purpose in life), bertumbuh menggapai  potensi maksimal Anda (growing to your maximum potential), dan menaburkan benih yang membawa keuntungan bagi orang lain (sowing seeds that benefit others). Bertolak dari definisi sukses adalah sebuah perjalanan maka seorang mahasiswa  tidak boleh berkata dia akan sukses jika ia diwisuda. Mengapa? Jika ia berkata  demikian, maka pada saat ia diwisuda kemungkinan besar ia akan medefinisikan  ulang kesuksesannya dengan berkata, "Saya akan sukses jika saya sudah dapat pekerjaan". Hal tersebut dapat terus berlanjut. Misalnya setelah mendapatkan pekerjaan ia akan  berkata kalau ia akan sukses jika ia sudah menjadi manager di perusahaan tersebut. Ketika jadi manager, ia akan berkata, ia akan sukses jika ia menjadi direktur. Tatkala  menjadi direktur, ia berkata, ia akan sukses jika ia berhasil membawa perusahaannya menjadi nomor satu dalam hal penjualan, dan seterusnya. Cara  pandang seperti ini bisa jadi akan membuatnya stres karena ia merasa belum meraih  apa-apa. 
Jika seseorang telah melakukan yang terbaik sepanjang perjalanan hidupnya ia sebenarnya sudah sukses. Dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, jika ia senantiasa melakukan yang terbaik, ia sebetulnya sudah sukses hanya mungkin ia belum mendapatkan pengakuan atas kesuksesannya. Sehingga dapat dikatakan kalau sukses adalah ketika kita mampu menjalankan peran kita di dalam kehidupan. Persis sebuah pepatah bijak mengatakan, "You can become the  star of the hour if you make the minutes count." Ya, Anda dapat menjadi bintang  pada jam ini jika Anda menjadikan setiap menitnya berarti. 

Rabu, 28 Desember 2011

LIFE



CERITA PETANI





A
lkisah jaman dahulu kala ada seorang petani miskin yang hidup dengan seorang putera nya. Mereka hanya memiliki seekor kuda kurus yang sehari-hari membantu mereka menggarap ladang mereka yang tidak seberapa. Pada suatu hari, kuda pak tani satu - satunya tersebut menghilang, lari begitu saja dari kandang menuju hutan. Orang-orang di kampung yang mendengar berita itu berkata: "Wahai Pak tani, sungguh malang nasibmu!". Pak tani hanya menjawab, "Malang atau beruntung? Aku tidak tahu …

"Keesokan hari nya, ternyata kuda pak Tani kembali ke kandangnya, dengan membawa 100 kuda liar dari hutan. Segera ladang pak Tani yang tidak seberapa luas dipenuhi oleh 100 ekor kuda jantan yang gagah perkasa. Orang – orang  dari kampung berbondong datang dan segera mengerumuni "koleksi" kuda – kuda  yang berharga mahal tersebut dengan kagum. Pedagang – pedagang  kuda segera menawar kuda - kuda tersebut dengan harga tinggi, untuk dijinakkan dan dijual. Pak Tani pun menerima uang dalam jumlah banyak, dan hanya menyisakan 1 kuda liar untuk berkebun membantu kuda tua nya. Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata: "Wahai Pak tani, sungguh beruntung nasibmu!". Pak tani hanya menjawab, "Malang atau beruntung? Aku tidak tahu …"

Keesokan hari nya, anak pak Tani pun dengan penuh semangat berusaha menjinakan kuda baru nya. Namun, ternyata kuda tersebut terlalu kuat, sehingga pemuda itu jatuh dan patah kaki nya. Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata: "Wahai Pak tani, sungguhmalang nasibmu!". Pak tani hanya menjawab, "Malang atau beruntung? Aku tidak tahu …"

Pemuda itupun terbaring dengan kaki terbalut untuk menyembuhkan patah kaki nya. Perlu waktu lama hingga tulang nya yang patah akan baik kembali. Keesokan hari nya, datanglah Panglima Perang Raja ke desa itu. Dan memerintahkan seluruh pemuda untuk bergabung menjadi pasukan raja untuk bertempur melawan musuh di tempat yang jauh. Seluruh pemuda pun wajib bergabung, kecuali yang sakit dan cacat. Anak pak Tani pun tidak harus berperang karena dia cacat. Orang-orang di kampung berurai air mata melepas putra-putra nya bertempur, dan berkata: "Wahai Pak tani, sungguh beruntung nasibmu!". Pak tani hanya menjawab, "Malang atau beruntung? Aku tidak tahu …"

Kisah di atas, mengungkapkan suatu sikap yang sering disebut: non-judgement. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan untuk memahami rangkaian kejadian yang diskenariokan Sang Maha Sutradara. Apa yang kita sebut hari ini sebagai "kesialan", barangkali di masa depan baru ketahuan adalah jalan menuju "keberuntungan" . Maka orang - orang seperti Pak Tani di atas, berhenti untuk "menghakimi" kejadian dengan label – label  "beruntung", "sial", dan sebagainya. Karena, siapalah kita ini menghakimi kejadian yang kita sunguh tidak tahu bagaimana hasil akhirnya nanti. Seorang karyawan yang dipecat perusahaan nya, bisa jadi bukan suatu "kesialan", manakala ternyata status job-less nya telah memecut dan membuka jalan bagi dirinya untuk menjadi boss besar di perusahaan lain. Maka berhentilah menghakimi apa yang terjadi hari ini, yang selama ini kita sebut dengan "kesialan" , "musibah " dll , karena .. sungguh kita tidak tahu apa yang terjadi kemudian dibalik peristiwa itu.

"Hadapi badai kehidupan sebesar apapun. Tuhan takkan lupa akan kemampuan kita. Kapal hebat diciptakan bukan untuk dilabuhkan di dermaga saja."


MENDIDIK DIRI SENDIRI
 








B
egitu mudahnya menebar petuah pada orang lain, dan betapa sulitnya berkaca pada diri sendiri. Pembinaan diri merupakan keniscayaan ditengah kerontangnya ruhiyah serta sangat disayangkan hal tersebut sering dilupakan. Ibarat pepatah “ gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman disebrang lautan tampak nyata” . Pepatah ini amat tepat menggambarkan kehidupan kita sehari-hari. Nasihat dan bimbingan bertaburan dimana-mana, namun sering kali diri sendiri jadi terlupakan. Orang tua kita sungguh bijak merangkai ungkapan diatas, demi mengajarkan anak cucunya tentang pentingnya arti suri tauladan diri, sebelum memuntahkan kata-kata.

Suri tauladan dan bentuk keteladanan memang barang mahal bagi setiap manusia. Setiap orang, dalam banyak waktunya, sering dituntut untuk digugu dan ditiru oleh lingkungan sekitarnya, baik dalam lingkungan keluarga, kantor, sekolah dan masyarakatnya. Hal ini jugalah, hikmah betapa islam menekankan konsep keteladanan dalam banyak hal dan situasi serta implementasinya. Rasulullah SAW  sendiri diutus oleh Allah SWT, yang mana disebutkan dalam Al-Quran sebagai teladan mulia (uswatun hasanah) bagi orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah SWT & hari akhir (QS al-ahzab:21). Namun, harus diakui, pengaruh lingkungan dan godaan duniawi terlampau sering melenakan orang untuk mempertajam visi keteladanan yang dimilikinya. Padahal keteladanan harus diasah, jika tidak ingin tumpul dan berkarat. Dalam kerangka inilah bahwa mendidik diri sendiri merupakan suri tauladan yang harus dibentuk sebelum memberi petuah kepada orang lain. Konsep mendidik sendiri adalah sekumpulan metode edukasi yang dapat mengarahkan setiap individu untuk membangun kepribadiannya secara paripurna. Baik dari segi ilmiah, keimanan,akhlak, sosial dan lain sebagainya. Proses ini bertujuan untuk mengangkat kualitas diri pada derajat kesempurnaan manusiawi, serta menekankan pada potensi dan kemauan diri yang secara fitrah mencintai langkah kearah kebaikan. Sebagai sebuah konsep, proses mendidik diri sendiri tentunya memiliki beragam metode dan cara. Sebagai pilar pertama menurut para ulama adalah instropeksi diri. Instropeksi diri adalah sesuatu yang terjadi secara alami belaka, jika orang mau menggunakan akalnya. Fitrah manusia yang mencintai kebaikan dan membenci keburukan, membuat orang berfikir untuk memilih jalan yang terbaik dalam hidupnya.
Bagi seorang muslim, instropeksi diri punya makna tersendiri, sebab orientasi perbuatannya adalah akhirat. Seperti sebuah ungkapan : instropeksilah dirimu, sebelum kalian diperhitungkan, perhatikanlah amal saleh yang telah kalian persiapkan, saat kembali dan mempersembahkannya dihadapan Allah SWT. Selain itu pula prosesinstropeksi ini sangat bermanfaat jika rutin dilakukan pada waktu tertentu. Kondisi ini adalahkesempatan emas untuk menengok kebaikan yang telah didulang, sembari merunut jumlahkeburukan yang telah menjerat diri.Tak dapat di pungkiri, bahwa sikap lalai kebanyakan orang, dilatar belakangi oleh awamnya terhadap manfaat mendidik diri sendiri. Beberapa pakar muslim telah menguraikan manfaat dari hasil proses mendidik sendiri yang menuntut keikhlasan dan kesungguhan, adalah sebagai berikut :
1.         Manfaat pertama adalah kejayaan & ganjaran surga di akhirat (QS Al-Kahfi:107).
2.         Mendidik diri sendiri yang terwujud dalam kesungguhan, berpegang teguh pada aturan yang hak, dan akan melahiran kebahagiaan serta ketentraman yang tak diperoleh dengan jalan lain (QSThaha:124).
3.       Pribadi-pribadi yang berusaha mengamalkan akhlak baiknya dalam kehidupan sehari-hari, tak ayal akan meraih cinta dan perasaan untuk dapat diterima oleh orang lain. Sebab, setiap manusia sejati berusaha menjauhi perbuatan- perbuatan yang dapat merusak hubungan sesama manusia seperti syirik, fitnah, gosip, zalim dan lain sebagainya.
4.       Waktu dan hartapun menjadi berkah. Boleh jadi umur dan harta yang diberikan lebih sedikit dibandingkan orang lain, akan tetapi kesungguhan manusia sejati, yang berusaha mendidik dirinya, akan membuat waktu yang kelihatannya sedikit, akan sarat dengan manfaat. Setiap waktunya adalah upaya untuk meminimalkan tindakan-tindakan bodoh yang dapat merusak nilai  rapotnya dihadapan Allah SWT.
5.       Pribadi yang mengasah dirinya juga lebih tahan banting dalam menghadapi persoalan dunia. Jauh dari stres dan putus asa. Saat gembira, ia menabur syukur. Saat nestapa, ia menebar sabar. Dibutuhkan kemauan yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh. Kemuliaan hanya dapat diraih dengan susah payah, yang kemudian dikemas dengan keikhlasan yang murni, dan yang tidak boleh di lupakan, bahwa mendidik diri sendiri dapat efektif, apabila manusia tersebut mengupayakan agar ia hidup ditengah lingkungan dan teman-teman yang mendukungnya. Kesempatan untuk berbuat kebaikan makin luas, serta saling mengingatkan secara tulus dan sehat dapat dipupuk sebagai tradisi. Bukan untuk menjatuhkan apa lagi cari muka. Jadi, perhatikan saja kuman yang tampak dipelupuk mata, dan biarkan gajah buram di sebrang lautan. Semoga Tuhan YME mengabulkan doa kita semua...amien.